Powered By Blogger

Kamis, 09 Februari 2012

MAKALAH LEGENDA SANGKURIANG

MAKALAH
LEGENDA SANGKURIANG
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat Tugas
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia




 



Disusun oleh:
Nama   : Reni Nuraeni
Kelas   : VIII. H





KEMENTERIAN AGAMA RI
MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI PANDEGLANG II PANDEGLANG
2012




Kata Pengantar
Puji sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan taufik dan hidayahnya dan memberi kenikmatan yang tiada henti, baik nikmat jasmani dan nikmat rohani, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang insyaalah sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam penuliasan makalah ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, guru-guru dan teman-teman yang sudah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
 Penyusunan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam pemahaman atau penulisan, sangat besar harapan penulis ada saran atau kritik dari guru-guru di sekolah Mts. Negeri Pandeglang II, teman-teman dan pembaca yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi pembaca, terutama bagi penulis, Amin.

Menes,    Februari 2012

Penulis







 
 

Daftar Isi

Kata Pengantar …………………………………………………………..…...
Daftar Isi……………………………………………………………………....
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah ………………………………………......
B.  Rumusan Masalah………………………………………………….
C.  Tujuan Penulisan Makalah ………………………………………..
D.  Manfaat Penulisan Makalah……………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
A.  Latar Belakang Tentang Materi……………………………............
B.  Isi Materi…………………………………………………………...
1. Pengertian Hermeneutik………………………………………...
2. Asal Usul Cerita Legenda Sangkuriang…………………………
3. Makna  Legenda Gunung Tangkuban Parahu Dengan Segala Aspek Yang Dikandungnya……………………………………...
C.  Manfaat Materi…………………………………………………….
D.  Makna Bagi Siswa Tentang Materi………………………………..
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan………………………………………………………...
B.  Saran……………………………………………………………….
Daftar Pustaka………………………………………………………………...
i
ii

1
2
2
2

3
3
3
4

8
13
14

15
15
16









 
 

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Mitos sebagai acuan pandangan hidup. Berbincang tentang mitos akan berkaitan erat dengan legenda, cerita, dongeng semuanya termasuk kelompok folklore. Mengenai mitos C.A.van Peursen mengatakan  sebagai  sebuah cerita (lisan) yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Inti dari mitos adalah lambang-lambang yang menginformasikan  pengalaman manusia purba tentang kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa dan proses katarsisnya.  Sedangkan  Rene Wellek & Austin Warren  menyebutnya sebagai cerita anonim mengenai penjelasan tentang asal mula sesuatu, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
            Mengacu kepada pendapat di atas, ternyata  mitos yang dikandung dalam legenda  adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau dalam segala aspeknya. Disusun dalam bentuk cerita sastra (sastra lisan) sebagai alat transformasinya; sebab bentuk cerita  lisan mempunyai pola struktur dan alur yang cukup ajeg. dalam menuntun ingatan orang sehingga mudah untuk seseorang menuturkannya kembali.
            Kegiatan manusia tidak terlepas dari  kemampuan untuk menafsirkan terhadap apa pun yang dialaminya. Hasilnya adalah didapatkannya arti dan makna dari yang ditafsirkannya. Arti adalah hubungan antara sesuatu dengan yang melingkunginya, hubungan teks dengan konteks). Adapun makna adalah hubungan arti dengan nilai esensial yang dikandungnya.
1
 
            Kemampuan mengartikan dan memaknai  sesuatu, dalam budaya Sunda disebut dengan kemampuan memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk menafsirkan secara:  silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (allude); sindir yaitu  penggunaan susunan kalimat yang berbeda (allusion); simbul yaitu penggunaan dalam bentuk lambang (symbol, icon, heraldica); siloka adalah penyampaian
2

 
dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma) dan sasmita adalah berkaitan dengan suasana dan perasaan hati (depth aporisma).
            Dalam tulisan ini pun penulis menggunakan konsep hermeneutika (panca curiga) untuk mencoba  menarik arti dan makna yang dikandung dalam legenda Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspek yang dikandungnya. Kaidah lain untuk melakukan analisis, penulis  memanfaatkan  leksikografi (cara menuliskan kata); etimologi (tentang asal-usul kata), semantik (tentang arti kata) dan semiotika ( tentang arti dan makna lambang).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan hermeneutika ?
2. Bagaimanakah asal usul serita legenda sangkuriang ?
3. Bagaimanakah makna legenda gunung tangkuban parahu dengan segala aspek yang dikandungnya ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Ingin mengetahui pengertian hermeneutika ?
2. Ingin mengetahui asal usul cerita legenda sangkuriang ?
3. Ingin mengetahui makna legenda gunung tangkuban parahu dengan segala aspek yang dikandungnya ?
D. Manfaat Penulisan Makalah
Dalam penulisan makalah ini diharapkan manfaat yang diperoleh adalah:
1. Bagi penulis, bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan, khususunya pengetahuan tentang legenda sangkuriang.
2. Bagi pembaca, memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang cerita legenda sangkuriang.
3. Bagi guru, menembah wawasan pengetahuan dalam pengajaran bahasa Indonesia terutama tentang cerita legenda sangkuriang.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Tentang Materi
            Dalam penulisan makalah ini akan dibahas tentang bagaimana asal usulnya cerita legenda sangkuriang dan bagaimana makna legenda gunung tangkuban parahu dengan segala aspek yang dikandungnya. Pada dasarnya sebuah cerita-cerita  seperti legenda adalah cerita yang berkaitan dengan hal-hal bersifat mitos, akan tetapi pada jaman sekarang kebanyakan orang tidak peduli terhadap cerita yang bersifat mitos, mungkin hanya sebagian dari sekian bnyak orang yang masih percaya akan hal tersebut.
            Kalau dikaji lebih dalam, pada dasarnya sebuah cerita akan mengajarkan kita arti kehidupan dan kita bisa mengambil pesan moral yang ada dalam sebuah cerita tersebut. Jadi, sebenarnya tidak usah mempedulikan cerita tersebut bersifat mitos atau tidak, yang penting kita bisa tahu apa makna dan pesan yang terkandung dalam sebuah cerita tersebut atau dalam legenda sangkuriang. Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan beberapa hal yang berkaitan denga legenda sangkuriang.
B. Isi Materi
1. Pengertian Hermeneutik
            Seperti ditulis pada awal wacana, hermeunetika adalah ilmu menafsirkan tentang sesuatu agar mempunyai arti dan makna, sehingga dapat dipetik manfaatnya. Karena itu  sangat bersifat subyektif dan inklusif, tetap  terbuka bagi siapa pun untuk memasukkan tafsirannya secara pribadi. Boleh-boleh saja dan itu akan besar manfaatnya dalam membentuk masyarakat  bermartabat yang madani mardotillah. Mungkin perlu ada kesepakatan bersama yaitu mengenai visi akhir yang ingin dicapai dari pemaknaan heumanetika tersebut, yaitu kesadaran untuk menampakkan kandungan moral atau ahklak kemanusiaannya. Humisnis yang religius. Itulah dasar kesepakatan  para penafisr nilai moral budaya bangsa yang terkandung dalam folkolor atau folkway.
2. Asal Usul Cerita Legenda Sangkuriang
             Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari tataran Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang terciptanya danau Bandung, gunung Tangkuban Perahu, gunung Burangrang, dan gunung Bukit Tunggul.
            Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.
            Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15.
            Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempa legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:
Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
Datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan).
a. Ringkasan Cerita
            Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayung yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima.
            Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.
            Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.
            Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Terminological kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
            Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul atau pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi gunung Tangkuban Perahu.
            Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di gunung Putri dan berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung Berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).
b. Kesesuaian Dengan Fakta Geologi
            Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya danau Bandung dan gunung Tangkuban Perahu. Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16.000 tahun yang lalu.
            Telah terjadi dua letusan gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105.000 dan 55.000-50.000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera gunung Sunda purba sehingga menciptakan gunung Tangkuban Perahu, gunung Burangrang (disebut juga gunung Sunda), dan gunung bukit Tunggul.
            Sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat citarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun yang lalu saat gunung Tangkuban Perahu tercipta dari sisa-sisa gunung Sunda Purba. Masa ini adalah masanya homo sapiens, mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50.000 tahun yang lalu.
c. Sangkuriang dan Falsafah Sunda
            Menurut Hidayat Suryalaga, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh atau eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika sang nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami sang nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio sang ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang memengaruhi “sang ego rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan sang nurani. Ternyata keangkuhan sang ego rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu sang nurani (pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
7

 
            Walau demikian ternyata penyatuan antara sang ego rasio (Sangkuriang) dengan sang nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh sang ego rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan sang ego rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). sang ego rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang)
            Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya sang ego rasio dengan sang nurani yang tercerahkan hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi, gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa sang ego rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada dirinya. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (gunung Tangkuban Perahu).
            Walau demikian lantaran sang ego rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus sang nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara sang ego rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata sang nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami sang ego rasio (bunga Jaksi).
            Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujung berung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa Sunda: Hade ku omong goreng ku omong) dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat.
3. Makna  Legenda Gunung Tangkuban Parahu Dengan Segala Aspek Yang Dikandungnya
            Seperti pada awal tulisan, bahwa legenda bukanlah kisah historis (a-historis), tetapi berupa mitos yang menjadi acuan hidup masyarakat pendukung kebudayaannya. Demikian pula yang terjadi pada legenda Gunung Tangkuban parahu.  Di bawah ini saya susun kembali nama dan tempat serta aspek lainnya yang terdapat dalam legenda tersebut. sebagai kata kunci heurmanetika, yaitu:
a. Sungging Perbangkara,
b. cariang
c. babi hutan Si Wayungyang,
d. Dayang Sumbi atau Rarasat

 
e. anjing Si Tumang,
f. Sangkuriang,
g. taropong (torak),
h. Wetan (Timur)
i. Kulon (Barat)
j. Citarum,
k. Sanghyang Tikoro,
l. Guriang
m. Gunung Putri,
n. Gunung Manglayang,
o. Ujungberung,
p. kembang Jaksi,
q.  boeh rarang,
r.  Gunung Bukit Tungggul,
s. Gunung Burangrang
t. Gunung Tangkuban Parahu, dan
u. Talaga Bandung.
            Telah disinggung di atas, bahwa banyak penulis yang memberi arti dan makna terhadap legenda ini. Pada kesempatan sekarang  penulis  mencoba untuk membuat penafsiran arti dan makna menurut konsep  nilai-nilai  intrinsik  pandangan hidup “urang Sunda” yang terkandung dalam  alur cerita dan arti-makna dari setiap kata-kata kunci. Di bawah ini disertakan deskripsi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan legenda gunung Tangkuban perahu.
a. Sungging Perbangkara. 
            Artinya :  Sungging = ukiran, ornamen. Perbangkara (Prabhangkara) = Prabha = cahaya.  >  ‘ng > sang = penanda hormat, honorifik.  > kara = matahari. Maknanya “ Penanda dari kebaikan/ kebenaran  sebagai cahaya pencerahan bagi yang menyimaknya”.
b. Cariang.
            Artinya:  pohon keladi hutan (taleus leuweung) yang tumbuh subur dan bergetah sangat gatal. Maknanya: Manusia-manusia yang hidup di tengah hutan kehidupan  dengan bermacam dorongan nafsunya.
c. Babi Hutan Wayungyang. 
            Artinya: Wayungyang > w(b)ayeungyang = perasaan yang tidak tenteram, gundah gula. Maknanya: Seseorang yang   masih berada dalam sifat kehewanan tetapi telah mulai bimbang dan menginginkan menjadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan).
d. Dayang Sumbi (Danghyang) atau Rarasati
            Artinya : > Dang = penanda hormat, honorific. YangHyang =  gaib. > Sumbi =  1) tendok = alat untuk menusuk hidung kerbau agar menurut. 2) Bagian ujung terdepan dari perahu sebagai penunjuk arah dalam berlayar agar tidak rersesat. Maknanya: Fitrah manusia yang bersifat gaibiah yang memberi petunjuk dan  kendali dalam menentukan arah  kehidupan. Bisa dimaknai pula sebagai  kata hati, nurani yang mendapat pencerahan hidayah Allah Swt. Rarasati nama lain dari Dayang Sumbi. Artinya : 1) > Raras = perasaan yang sangat halus. > ati = hati, qalbu. Maknanya: Raras Ati = Hati atau qalbu yang penuh dengan kehalusan budi karena mendapat pancaran sinar Ilahi. 2) Rara = gadis   > sati (santa) = suci, pengorbanan, tenang. Maknanya: Rara Sati =  Kesucian yang tenang penuh pengorbanan.
e. Si Tumang.
            Artinya:   > tumang =  1) Peti yang tertutup (b. Kawi), 2) mangmang = sumpah (b.Kawi)   tu-mang-mang =  orang yang terkena sumpah karena waswas. Maknanya: karakter seseorang yang selalu asal bersumpah, waswas, akhirnya termakan sumpahnya sendiri, hatinya seperti peti yang tertutup rapat tidak mendapat pencerahan.
f. Sangkuriang.
            Artinya: > 1) Sang = penanda hormat, honorifik. > Kuriang < kuring = saya, ego. 2) Sang = penanda hormat, honorific. > Kuriang < guru + hyang =  ego yang gaib. Maknanya:  Sangkuriang =  Jiwa (ego)  non material yang menjadi dasar tumbuhnya kesadaran mental manusia yang selalu mendapat cobaan dan ujian kualitas dirinya.

 
g. Taropong
            Artinya : 1) Alat bertenun dari sepotong bambu kecil (tamiang) tempat benang pakan (torak); 2) Alat untuk melihat sesuatu agar  lebih jelas (teropong). Maknanya: Kegiatan (semangat) manusia dalam menata perilaku kehidupan agar terusun tertib sesuai dengan kualitas dirinya serta mampu melihat dengan jelas alur (visi) kehidupannya.
h.  Wetan
            Artinya : timur, tempat matahari terbit;  wetan > wiwitan = asal mula, harapan. Maknanya : Menuju ke wetan (timur) , mencari yang diharapkan yang dicarinya sejak awal mula keberadaan manusia.
i. Kulon 
            Artinya : Barat, tempat matahari tenggelam. Maknanya :  Sampai di arah  barat =  sampai di batas waktu,  waktu terakhir, akhir kehidupan
j. Citarum
            Artinya:  > Ci < cai = air. > Tarum = sejenis tumbuhan, daunnya untuk memberi warna indigo tua (hampir hitam) pada kain atau benang tenun. Maknanya: Kehidupan adalah seperti air mengalir dalam perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan, keprihatinan dan  juga hal-hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan hatinya.
k. Sanghyang Tikoro
            Artinya: > Sang = penanda hormat, honorifik. > Hyang = gaib. >Tikoro = saluran di leher untuk bernafas dan berbicara (tenggorokan) atau  saluran di leher untuk makan (kerongkongan). Maknanya: Kemampuan manusia dalam berbicara tentang apa pun yang baik atau pun yang jelek serta sering  dilalui makanan entah yang halal  atau yang haram.
l. Guriang
            Artinya > Guru = Yang memberi petunjuk, ilmu;  > hyang = gaib.  Maknanya : Guriang = orang  yang mengajari ilmu pengetahuan, fasilitator.


 
m. Gunung Putri
             Artinya > Putri = gadis, wanita cantik jelita, bangsawan. Maknanya: Karakter manusia yang dihiasi nilai keindahan dan cinta kasih. Dimaknai sebagai sifat kewanitaan (feminim, jamalliyah, cinta kasih yang rohimmi) yang penuh rasa kasih sayang.
n. Gunung Manglayang
            Artinya: > Manglayang = 1) ngalayang, melayang. 2) Mang-layang  > palayangan =  Saluran untuk pembuangan air kolam/talaga. Maknanya : Kemampuan manusia untuk menguras dan membersihkan dirinya dari karakter yang kotor.
o. Kembang Jaksi
             Artinya: 1) Jaksi > bisa dimaknai jadi + saksi . Maknanya: 1) Segala sesuatu yang dikerjakan  seseorang  akhirnya akan menjadi saksi pula bagi dirinya. 2)  Jaksi = bunga sejenis pohon pandan. Maknanya: Kesesuaian antara itikad/niat – ucapan dan perbuatan (tekad – ucap – lampah)
p. Ujungberung
             Artinya: > Ujung = akhir. >berung > ngaberung = menurutkan hawa nafsu. Maknanya:Berakhirnya gejolak hawa nafsu yang negatif.
q. Boeh Rarang
            Artinya : > Boeh = kain kafan. > rarang = suci, mahal. Maknanya: Semuanya akan berakhir bila satu saat mau tidak mau harus memakai kain kafan yang suci, yaitu datangnya waktu kematian mungkin secara fisik atau secara psikis.
r. Gunung Bukit Tunggul
                        Artinya : 1) > Bukit = Bentuk gunung yang lebih kecil. > Tunggul = pokok pohon. Maknanya: Siapapun orangnya, kaya-miskin, pembesar atau pun rakyat kecil semuanya mempunyai pokok sejarah dirinya (leluhur).  2)  Tunggul  > tutunggul = batu nisan. Maknanya setiap orang mempunyai  penanda  jati dirinya,  tentang apa dan siapa dirinya.

 
s. Gunung Burangrang
            Artinya > Burangrang > Bukit  + rangrang. > rangrang = ranting. Maknanya : Siapa pun orangnya tetap akhirnya akan ada sangkut pautnya  dengan keturunan dan masyarakat. yang pada gilirannya semuanya akan hilang ditelan masa (ngarangrangan).
t. Gunung Tangkuban Parahu
            Artinya: >Tangkuban = tertelungkup, menelungkup. > Parahu = perahu. > Gunung Tangkuban parahu = gunung yang bentuknya seperti perahu yang tertelungkup. Maknanya: Dalam kosmologi Sunda, gunung dimaknai sebagai tubuh manusia. Gunung Tangkubanparahu dimaknai sebagai manusia yang sedang menelungkupkan dirinya dan itu menandakan suasana hati yang sedang bingung penuh penyesalan.
u. Talaga Bandung
            Artinya:  > talaga = danau, dimaknai sebagai kehidupan di dunia ini,  >bandung = 1) dua buah perahu atau dua buah rakit yang disatukan dan di atasnya dibuat tempat berteduh. 2) bandung > bandung + an = memperhatikan, menyimak > silih bandungan – saling memperhatikan dengan penuh perhatian. Maknanya: > Talaga Bandung = Dalam kehidupan di dunia ini, kita ibarat perahu yang dirakit berpasangan dengan sesama makhluk lain, seyogyanya dapat membangun  kehidupan bersama, yaitu  kehidupan yang saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, interdependency (saling ketergantungan yang harmonis),  equaliter (setara di depan hukum) dan egaliter (setara di dalam kehidupan)
C. Manfaat Materi
            Dalam penulisan makalah ini dengan materi yang bertemakan legenda Sangkuriang, pada umumnya manfaat yang bisa dipetik dalam kehidupan harus saling memperhatikan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang saling ketergantungan satu sama lain. Karena kehidupan adalah ibarat seperti air mengalir dalam perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan, keprihatinan dan juga hal-hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan hati. Jadi, kita harus menciptakan suasana hidup yang harmonis, damai, aman dan tentram baik di lingkungan masyarakat maupun di dalam keluarga.
D. Makna bagi Siswa Tentang Materi
            Seperti yang sebelumnya sudah ditulis di awal, bahwa sebuah legenda hanya bersifat mitos, akan tetapi bila dikaji lebih dalam lagi ceritanya, banyak hal-hal yang bisa dipetik. Namun perlu adanya pemamahan yang benar, akurat, tepat, dan juga berpegang pada pengetahuan dasar. Untuk mendukung pengetahuan tersebut bisa mencari dan menggunakannya sumber-sumber tertentu yang berkaitan dengan cerita tersebut, agar tidak adanya pemahaman yang salah.
            Sangat penting sekali bagi siswa atau kaum pelajar sebagai generasi penerus yang ada di seluruh Indonesia terutama siswa di Mts. Negeri Pandeglang II, untuk mempelajari dan mengkaji legenda Sangkuriang. Selain bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan dan pengalaman, banyak manfaat yang bisa diambil sebagai pedoman hidup.
           
















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dalam mengakaji legenda sangkuriang penulis akhirnya menarik kesimpulan tentang apa yang ada dalam materi tersebut. Adapun kesimpulannya sebagai berikut :
1.    Hermeunetika adalah ilmu menafsirkan tentang sesuatu agar mempunyai arti dan makna, sehingga dapat dipetik manfaatnya. Karena itu  sangat bersifat subyektif dan inklusif, tetap  terbuka bagi siapa pun untuk memasukkan tafsirannya secara pribadi.
2.    Bila kita runut seluruh informasi di atas, maka akan ditemukan alur kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda yang terkandung dalam legenda Gunung Tangkuban parahu. Kearifan yang dibungkus dengan cerita legenda ini dapat menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam menjalani keberadaannya baik secara manusia lahiriah (fisik) maupun manusia transendental (ruhi). 
3.    Setelah mengkaji legenda sangkuriang didapatkan nama dan tempat serta aspek lainnya yang terdapat dalam legenda tersebut  ialah; Sungging Perbangkara,  cariang, babi hutan Si Wayungyang, Dayang Sumbi atau Rarasati, anjing Si Tumang, Sangkuriang, taropong (torak), Wetan (Timur), Kulon (Barat), Citarum,  Sanghyang Tikoro, Guriang, Gunung Putri, Gunung Manglayang, Ujungberung, kembang Jaksi, boeh rarang, Gunung Bukit Tungggul, Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Parahu, dan Talaga Bandung.
B. Saran
            Dengan adanya makalah ini penulis hanya bisa menyarankan kepada pembaca, khususunya bagi siswa Mts. Negeri Pandeglang II dapat membangun  kehidupan bersama,  yaitu  kehidupan yang saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, kemudian ciptakan suasana hidup yang harmonis, damai, aman dan tentram. Tidak lupa untuk terus menggali ilmu pengetahuan di berbagai mata pelajaran, khususunya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan bisa mengkaji lebih dalam lagi sebuah cerita legenda Sangkuriang.
 
 

Daftar Pustaka
Danandjaja, James. 1986. Folkor Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafitipress.
Ekadjati, Edi S. 2001. Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda Abad.
Ekajati, Edi S. 1983. Naskah Sunda Lama Kelompok Babad. Bandung:      Depdikbud.
Hidayat, Suryalaga. 1996. Racikan Budaya Sunda. Jabar : Depdikbud Prop.
LBSS. 1975. Kamus Umum Basa Sunda: Tarate.
Satjadibrata, R.1946. Dongeng-dongeng Sasakala. Jakarta: Balai Pustaka.
Wahyu Wibisana. 1992. Sangkuriang Kabeurangan. Bandung: Mangle No. 1373.
Wellek, Rene. Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.
 
Woyowasito, S. 1977. Kamus Kawi- Indonesia: CV. Pengarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar