MAKALAH
STRUKTUR GEOLOGI DI WILAYAH INDONESIA
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat Tugas
Mata Pelajaran IPA
Disusun oleh:
Nama : Reni Nuraeni
Kelas : VIII. H
KEMENTERIAN AGAMA RI
MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI PANDEGLANG II PANDEGLANG
2012
Kata Pengantar
Puji sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT
atas limpahan taufik dan hidayahnya dan memberi kenikmatan yang tiada henti,
baik nikmat jasmani dan nikmat rohani, sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini yang insyaalah sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam penuliasan makalah ini, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
guru-guru dan teman-teman yang sudah memberi dukungan dan motivasi kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penyusunan makalah ini tentunya masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik dalam pemahaman atau penulisan, sangat besar
harapan penulis ada saran atau kritik dari guru-guru di
sekolah MTs. Negeri Pandeglang II, teman-teman dan pembaca yang bersifat membangun demi perbaikan
penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi
pembaca, terutama bagi penulis, Amin.
Menes,
Februari 2012
Penulis
|
Daftar Isi
Kata Pengantar …………………………………………………………..…...
Daftar Is ……………………………………………………………………....
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah ………………………………………......
B.
Rumusan
Masalah………………………………………………….
C.
Tujuan
Penulisan Makalah ………………………………………..
D.
Manfaat
Penulisan Makalah……………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Tentang Materi……………………………............
B.
Isi
Materi…………………………………………………………...
1.
Fisiografi
dan Iklim Indnesia ……………….………………..
2.
Geologi Indonesia.....................................................................
3.
Variasi Paras Muka Laut: Gejala Tektonik
dan Eustatik…….
4.
Evolusi
Kota Pantai di Indonesia……………………………..
5.
Genesa dan Tipologi Pantai…………………………………...
C.
Manfaat
Materi…………………………………………………….
D.
Makna
Bagi Siswa Tentang Materi………………………………..
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan………………………………………………………...
B.
Saran……………………………………………………………….
Daftar Pustaka………………………………………………………………...
|
i
ii
1
2
3
3
4
5
5
7
9
12
15
27
28
29
30
31
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya pertumbuhan kota pantai sejak 10 tahun terakhir diikuti
oleh sejumlah masalah, antara lain yang berkaitan dengan problem lingkungan dan
keterbatasan sumberdaya (lahan, air, bahan konstruksi, dan lain-lain).
Kota-kota pantai
di Indonesia tumbuh dan berkembang dari awal dengan kesamaan fungsi.
Perkembangan berikutnya diwarnai oleh keragaman berdasar fungsi kota, sebagai
kota administratif, perdagangan, industri, atau campurannya. Perluasan kota
mulai melampaui batas daya dukung lahan, fungsi alami lingkungannya terabaikan
dan sumberdayanya terpakai berlebihan. Berlebihnya pengambilan sumber daya air
tanah menimbulkan penurunan muka tanah (kompaksi) dan air tanahnya sendiri,
sementara kemampuan resapan air meteorik jauh berkurang oleh tutupan bangunan
dan jalan. Sedikit penyimpangan gejala alam - bahkan tanpa penyimpanganpun - pada
perioda tertentu, gejala alam dapat menimbulkan bencana bagi manusia.
Rusaknya
kawasan hulu tangkapan hujan menyebabkan tidak terkendalinya aliran permukaan
yang berdampak pada air bah dan banjir. Saat bersamaan antara terjadinya curah
hujan berlebih dengan saat terjadinya pasang naik maksimum menyebabkan banjir,
akibat tertahannya air sungai masuk ke laut, atau saat pasang maksimum dengan
badai musim (barat) menyebabkan erosi pada pantai yang sudah tidak terlindungi
(bakau) dan mengalami kekurangan asupan sedimen. Pengerukan sedimen laut
mengubah titik hempasan enersi maksimum gelombang yang berdampak pada erosi
pantai, terlebih bila tidak ada lagi pelindungnya, seperti bakau dan atau
terumbu karang. Kenaikan suhu atmosfer global yang akan diikuti oleh naiknya
paras muka laut adalah salah satu ancaman serius walau masih memerlukan waktu
cukup lama (skenario GCM: 1-4°C) (Gambar 2-1).
Gambar 2-1. Model
GCM untuk pemanasan global
|
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Fisiografi dan
Iklim Indonesia?
2. Bagaimana Geologi di Indonesia ?
3. Bagaimana Variasi Paras Muka Laut:
Gejala Tektonik dan Eustatik Indonesia ?
4. Bagaimana Evolusi kota
pantai di Indonesia ?
5.
Bagaimana
Genesa dan tipologi pantai Indonesia?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1.
Ingin
mengetahui dan Iklim Indonesia
2. Ingin mengetahui Geologi di
Indonesia
3. Ingin mengetahui Variasi Paras Muka
Laut: Gejala Tektonik dan Eustatik Indonesia
4. Ingin mengetahui Evolusi Kota Pantai di
Indonesia
5. Ingin mengetahui Genesa dan
Tipologi Pantai Indonesia
D. Manfaat Penulisan Makalah
Dalam penulisan makalah ini
diharapkan manfaat yang diperoleh adalah:
1. Bagi penulis, bisa menambah wawasan
ilmu pengetahuan, khususunya pengetahuan tentang Struktur Geologi di wilayah
Indonesia.
2. Bagi pembaca, memperoleh pengalaman
dan pengetahuan tentang ktur Geologi di wilayah Indonesia.
3. Bagi guru, menembah wawasan
pengetahuan dalam pengajaran IPA terutama tentang Struktur Geologi di wilayah
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Tentang Materi
Dalam penulisan
makalah ini akan membahas tentang Bagaimana Fisiografi dan Iklim Indonesia, Bagaimana Geologi di Indonesia, Bagaimana
Variasi Paras Muka Laut: Gejala Tektonik dan Eustatik Indonesia, Bagaimana Evolusi kota pantai di Indonesia, Bagaimana Genesa dan tipologi pantai
Indonesia.
Pada dasarnya kita
tahu bahwa wilayah Indonesia terdiri dari berbagai pulau-pulau yang kaya akan
alamnya, baik di wilayah laut maupun daratan. Pantai
di Indonesia memiliki bentang dan ekosistim yang terbentuk oleh gejala alam
yang berbeda dalam kurun waktu lama, yang dengan demikian menghasilkan
lingkungan yang sangat berbeda. Proses geologi maupun perubahan garis pantai
seiring perubahan paras muka laut mengiringi perkembangan pantai di Indonesia.
Maka, dapat dikatakan bahwa pantai merupakan ekosistim dimana kondisi darat dan
laut berinteraksi, menghasilkan lingkungan unik dan rentan dari setiap
perubahan.
Sebagian
besar kota-kota penting di Indonesia terletak di kawasan pantai - atau dekat
dengan laut - tumbuh dengan cepat sebagaimana kota besar di dunia lainnya
seiring perkembangan peradaban.
Keberadaan dan perkembangan kota pantai tidak lepas dari fungsinya saat
awal pembukaan dan didirikannya, yaitu sebagai akses hubungan antara pedalaman
dengan dunia luar. Ciri utamanya adalah, diawali sebagai suatu pemukiman atau
pos yang tumbuh di pantai yang terlindung disekitar muara sungai – yang juga
rentan dari genangan banjir - sebagai tempat berlabuh kapal dan alur-alur jalan
yang menghubungkannya dengan pedalaman dari mana hasil bumi dihasilkan dari pertanian
atau perambahan hutan. Masing-masing kota pantai tumbuh di bentang alam yang
berbeda dengan gejala alam maupun sumberdaya pendukung yang tersedia,
menyangkut: lahan, air maupun bahan konstruksi (batuan, kayu, dan lain-lain)
untuk keperluan pertumbuhan kota. Kebutuhan ruang yang meningkat tajam
menyebabkan diabaikannya kapasitas daya dukung maupun sifat asli dari kawasan
pantai, demikian halnya gejala alam yang sebetulnya memang sudah lazim terjadi,
dapat berdampak negatif sebagai ancaman bencana. Perambahan sumberdaya di luar
kawasan kota menyebabkan terganggunya keseimbangan alam yang berdampak pada
timbulnya berbagai bencana (banjir, longsor, erosi pantai, gelombang pasang,
dan lain-lain).
Setiap
upaya mengembangkan kota pantai, haruslah mengenali potensi sumberdaya maupun
daya dukung lingkungan (karakteristik pantai) serta gejala alam di sekitarnya,
berdasar apa kemudian, dapat dilakukan penyesuaian untuk memperkecil biaya
ataupun resiko dampak di kemudian hari seiring perkembangan kota. Untuk lebih
jelasnya penulis akan menguraikan materi tentang struktur Geologi diwilayah
Indonesia.
B. Isi Materi
1.
Fisiografi dan Iklim Indnesia
Wilayah Indonesia
memiliki perairan laut dalam yang dialasi kerak samudra dan laut dangkal tepian
dari paparan benua. Paparan tepian kontinen memiliki kedalaman kurang dari 100
m, merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai cekungan busur dalam dan inti
kraton yang relatif stabil. Sejumlah sungai besar bermuara ke perairan ini, dan
merupakan bagian dari sistim aliran sungai purba (Gambar 3-1). Kondisi demikian
memberi sifat dari kawasan ini berpantai landai, bahkan di pantai timur Sumatra
dan selatan Irian, ditandai oleh kawasan ber-rawa (wetland) limpahan banjir
dengan rataan tebal bakau yang berfungsi pula sebagai pelindung pantai. Hal
sama ada pada pesisir barat dan selatan Kalimantan, namun sedikit berbeda di
pesisir utara Jawa yang umumnya merupakan bagian dari kompleks sistim endapan
volkanik kaki gunung api, kecuali jalur Rembang-Tuban yang berupa perbukitan
dengan pantai batu gamping. Pulau-pulau lebih kecil di jalur Sunda Kecil
(Bali-Flores), terbentuk oleh untaian gunung api, memiliki pantai landai atau
bertebing dari endapan volkanik di perairan laut dalam. Hal sama pada pulau-pulau di Laut Banda,
laut dalam yang beralas sisa dari kerak samudra. Perairan hangat menunjang
tumbuh luasnya terumbu karang di pulau-pulau tersebut, yang sama fungsinya dengan
bakau, melindungi pantai dari hempasan gelombang.
Gambar 3-1. Pola aliran sungai purba di daratan paparan tepian
kontinen Sunda
|
Perairan laut
dalam di jalur tunjaman dari Sumatra hingga Jawa-Bali, Irian Jaya Utara,
Sulawesi Utara dan Ceram memiliki bentang alam curam pada pesisirnya, namun
adakalanya memiliki pesisir landai yang sempit dan berpasir karbonat hasil
rombakan terumbu karang. Pesisir dan pantainya terbuka dari hempasan gelombang
kuat perairan samudra luas (Samudra Pasifik, Laut Zulu, Laut Banda, dll). Kawasan ini juga berada pada pengaruh gerak
tegak (vertikal) tektonik. Pesisir di bagian busur yang mengalami tumbukan
(Sumba-Timor) juga ditandai oleh pantai curam dari batuan keratan tektonik di
pesisir selatan, namun dicirikan pula oleh gerak pengangkatan (0,5 – 1 mm/th)
yang memberikan bentang alam teras terumbu karang terangkat di pesisir utara
pulau-pulau.
Secara
geografis, benua Maritim Indonesia terletak pada suatu kawasan yang rentan
namun berkaitan dengan mekanisme perubahan iklim global. West Pacific Warm Pool
(Perairan Hangat Pasisk Barat) dan pembubungan (upwelling) di Samudra Hindia
saling berpengaruh dengan cuaca di Indonesia. Arus lintas global (Arlindo) dari
Pasifik ke Samudra Hindia melalui perairan Indonesia, memberi pengaruh timbal balik
pada cuaca lokal dan global. Mekanisme iklim antara Asia dan Australia mengatur
musim kering dan basah di Indonesia. Beberapa gejala dan regulator iklim dan
cuaca penting global melibatkan sistim cuaca di Indonesia, antara lain: La
Nina, El Nino, ENSO dan yang juga tak kurang penting adalah apa yang disebut
sebagai "Indian Ocean Dipole" yang berdasar data proksi, terbukti
berperan cukup penting dalam mengontrol cuaca di lintas Samudra Hindia Barat
dan Timut (Gambar 3-2a.b)(Hantoro et.al., 2001). Gejala-gejala iklim tersebut
berikut penyimpangan (anomali) nya bersama dengan gejala geologi membentuk dan
menghasilkan bentang pantai sekarang melalui proses yang adakalanya di saat ini
diselingi oleh tekanan lingkungan akibat kegiatan manusia. Kawasan yang memiliki
curah hujan tinggi dalam waktu lama menghasilkan bentang pantai yang berbeda
dibanding dengan kawasan kering. Gelombang dan arus yang arah dan kekuatannya
berubah seiring putaran musim mengontrol sedientasi pantai dan pertumbuhan
terumbu karang.
2.
Geologi Indonesia
Benua Maritim Indonesia terletak pada dan
terbentuk oleh pertemuan dari beberapa kerak dan lempeng benua yang bergerak
saling mendekat, yaitu lempeng Australia, Pasifik dan Eurosia. Batas tumbukan
antar lempeng menghasilkan evolusi geologi (Gambar 4-1), antara lain ditandai
oleh penunjaman lempeng Indo-Australia di jalur Sumatra hingga Jawa-Bali (Moore
et al., 1980) dengan kecepatan bervariasi (7-7,5 cm th-1(McCaffrey,
1991). Tunjaman menyudut terhadap poros dan dangkal di sisi Sumatra menghasilkan
gugusan pulau busur luar (Nias, Menatawai, Enggano) dan sesar Semangko,
sementara tunjaman tegak lurus dan lebih terjal berlangsung di selatan
Jawa-Bali. Penunjaman kerak diikuti oleh penebalan magma yang menghasilkan
kegiatan volkanisma dan gerak vertikal (pengangkatan & penurunan).
Present Tectonic
setting of SEA and its adjacent area (Hall R., 1995)
|
Tectonic evolution of East Sunda Arc (Hantoro., 1992)
|
Uplifred coral reef’s position of Indonesian Isl. Arc (Hantoro., 1992)
|
Gambar
4-1. Geologi regional Asia Tenggara dan tektonik di Indonesia
Konvergensi
lempeng dan kerak di busur Sunda timur (Flores-Sumba-Timor) berbeda, ditandai
dengan kerapatan kegempaan lebih dangkal (McCaffrey et al., 1985) sebagai salah
satu ciri konvergensi yang bersifat sebagai gerak tumbukan, yang menghasilkan
keratan-keratan struktur tektonik sangat kompleks. Kerak tertunjaman dari
batuan berkerapatan lebih kecil di bawah batuan berkerapatan lebih besar
menghasilkan (isostasi) gerak vertikal lebih kuat berupa pengangkatan dengan
kecepatan mencapai 1 mm/th di Alor dan 0,5 mm/th di Sumba (Gambar 3-1).
Konvergensi yang
melibatkan gerak lempeng pasifik dan Australia menghasilkan sesar mendatar dan
pengangkatan lemah di pesisir utara Papua, namun pengangkatan di pegunungan
Jayawijaya mencapai 2 mm/th. Konvergensi di bagian ini menghasilkan pula bentuk
jalur tunjaman yang berarah barat timur di Timor berbelok, setelah Tanimbar,
menuju utara dan ke barat di perairan Ceram. Di segmen ini, pengangkatan akibat
gerak tektonik menempatkan endapan gamping terumbu muncul menumpang diatas
batuan volkanik dan batuan terobosan di perairan Maluku.
3.
Variasi Paras Muka Laut: Gejala Tektonik dan Eustatik
Garis pantai adalah rata-rata batas antara
air dan darat saat pasang dan surut. Wilayah
pesisir adalah kawasan dimana proses laut dan darat masih saling berpengaruh.
Dengan demikian, garis atau wilayah ini, dapat bergeser seiring perubahan paras
muka laut. Pergeseran tersebut dapat terjadi oleh susutnya permukaan air laut
atau gerak vertikal dari darat (proses tektonik, dan lain-lain). Sementara itu,
perubahan paras muka laut disebabkan oleh berubahnya volume air atau berubahnya
volume cekungan samudra. Pelelehan atau penumpukan (tudung) es di wilayah kutub
(eustatik) adalah salah satu penyebab utama berubahnya volume air laut seiring
perubahan cuaca global (Gambar 5-1). Gejala pemekaran samudra atau penurunan
cekungan adalah penyebab perubahan volume cekungan (Gambar 5-2)
X site of fauna’s fossils and artefacts
|
Gambar 5-1. Pola
migrasi manusia purba dan fauna di perairan Indonesia
Gambar 5-2. Pemekaran
benua, ditandai oleh pegunungan bawah laut di tengah samudra
Gejala estatik
relatif berulang pada perioda lebih singkat dibanding kurun waktu geologi yang
mengubah volume cekungan lautan (pemekaran samudra). Semua hal tersebut adalah
gejala yang mengendalikan proses berubahnya posisi garis pantai.
Seiring dengan
variasi paras muka laut eustasik, pada masa puncak perioda selang zaman es
(interglasial) dan zaman es (glasial), terjadi perubahan tutupan muka bumi yang
berada pada jangkauan amplitudo variasi tersebut. Posisi paras muka laut pada puncak
interglasial - sementara ini dapat diterima oleh para ahli - berada pada posisi
5 m di atas posisi muka laut saat ini. Berdasar jejak yang ditinggalkan oleh
lingkungan pantai yang ditemukan berada pada kedalaman hingga -145 m, dapat
diduga, paling tidak turunnya paras muka laut sedikit kurang rendah dari posisi
tersebut. Koreksi dapat dilakukan dengan persamaan:
D
= h (1 + w/m)
dimana D =
kedalaman atau posisi terkoreksi paras muka laut
h = tinggi kolom air
w = densitas air
m = densitas alas cekungan/ batuan dasar
Koreksi
detil dengan variasi perubahan paras muka laut berdasar regresi linier data
isotop dari foram bentos Uvigerina senticosa: (Hantoro, 1992)
Y=
18O =-0,01036 X + 3,742, dimana x = h,
-Y + 3,742
D
= (1 + w/m —————
0,01036
Dari
padanya dapat diartikan bahwa jejak paras muka laut yang ditemukan pada
kedalaman tertentu saat genang laut seperti saat ini, pada dasarnya ketika
susut laut berlangsung, ia akan berada pada posisi lebih tinggi akibat oleh
adanya mekanisme pelentingan lithosfer (isostatic rebound) oleh terbebasnya
pembebanan air.Turunnya paras muka laut berakibat pada keringnya tepi paparan
kontinen (Sahul dan Banda). Luas daerah yang mengalami perubahan tersebut
mencakup kurang lebih 4.074.836 km2 (Gambar 5-a.
Daratan
baru tersebut diperkirakan segera ditutupi oleh tumbuhan hutan tropis dataran
rendah dan rawa. Sejumlah perubahan gejala alamiah segera menyusul kemudian
akibat perubahan tergenang dan keringnya
paparan ini, antara lain menyangkut:
- Evolusi wilayah pesisir
membentuk karakter pantai
- Perubahan neraca geo-hidrologi yang mencakup wilayah luas paparan
Sunda dan Sahul
- Neraca produksi primer total di kawasan kepulauan maritim (lautan
dan daratan)
- Energi total matahari yang terpantul atau terserap menjadi
cadangan di darat atau lautan
- Mekanisme putaran bahang antara lautan, atmosfer dan daratan
- Mekanisme putaran arus udara dan kelembabannya akibat perubahan
mekanisme putaran bahang.
- Mekanisme dan produksi proses pelapukan batuan, pengangkutan
sedimen dan penegndapan sedimen
- Mekanisme putaran arus samudra (permukaan maupun laut dalam)
- Produksi karbonat di paparan tepi kontinen
- Migrasi flora, fauna dan manusia purba di kepulauan maritim
- Dan lain-lain mekanisme proses alamiah berikut neracanya.
Suatu hal perlu
dipikirkan seberapa besar perubahan beban (kolom) air hingga setinggi 100-150 m
ini terhadap rheologi cekungan dan lebih jauh lagi; pengaruhnya kemudian pada
mekanisme dinamika kulit bumi antara lain proses pelentingan atau yang
tercermin kemudian pada pola struktur yang berkembang di kawasan pesisir.
4.
Evolusi Kota Pantai di
Indonesia
Puncak zaman es
ditandai oleh susut laut yang mencapai –
145 m dibawah muka laut sekarang, zaman ini berakhir pada ± 14.000 tahun lalu (BP), diikuti dengan mulai naiknya paras muka
laut (Gambar 6-1)(Hantoro W.S, 1992). Walaupun belum ditemukan situs pemukiman
purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi tempat tinggal sementara
manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat sempit menuju lokasi
berikutnya (Gambar 6-2)(Hantoro W.S., 2001). Tempat inilah yang dapat dianggap
sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut,
yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen ± 6.000 tahun (BP) pada ± 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut
juga bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke dalam hilir sungai.
Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu (hasil) hutan
lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan berladang serta menyimpan dan
bertukar hasil dengan kelompok lain. Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi
samudra sudah lebih baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu
menyeberangi Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan
astronomi (Gambar 3-2b).
Gambar 6-1. Kurva variasi
paras muka laut Holosen-Resen di Indonesia.
Pemukiman di
darat (pedalaman) lebih cepat berkembang dan menjadi penting karena pertanian
merupakan kegiatan terpenting disaat itu serta lebih aman dan nyamannya
pedalaman (kering), sementara pemukiman pantai masih belum dianggap penting
karena sifatnya hanya sebagai pemukiman sementara atau titik bertolak atau
berniaga dan tidak nyaman dihuni. Sebagai bandar niaga, ia menghubungkan
kotaraja dengan perdagangan Asia Tenggara (Cina, Campa, dan lain-lain),
menyisakan kemudian tinggalan tempat ibadah (kelenteng, dan lain-lain). Keadaan
ini berlangsung hingga pada masa puncak zaman kerajaan Hindu, disusul kemudian
oleh lebih berkembangnya hubungan maritim di awal penyebaran Islam, yang ikut
pula mengembangkan pemukiman pantai sebagai bandar, pusat pendidikan (pesantren)
dan pasar yang lebih penting dari ibukota kerajaan, selain tumbuhnya bandar
baru diluar jangkauan naungan kekuasaan kerajaan. Masa penyebaran dan
pemantapan pengaruh kerajaan Islam saat tersebut dapat dianggap sebagai masa
gemilang perkembangan kota pesisir berikut kegiatannya seiring meningkatnya
kegiatan pelayaran dan perdagangan antar pulau (hasil bumi dan ternak,
rempah-rempah, sutera, porselin, dan lain-lain). Ruang kota memilih di sisi
muara di perairan terlindung di tempat mana pusat niaga dibangun berikut sarana
ibadah (masjid, pesantren). Ciri demikian ditemukan di hampir seluruh tempat di
Indonesia.
Kedatangan
pedagang Eropa dengan cara pemaksaan monopoli memakai kekerasan, mulai menekan
atmosfer perdagangan bebas, berakibat pula berubahnya pola sosial hingga
perkembangan kota pantai. Retensi penduduk lokal dan pedagang lama ditandai
oleh penanganan represif perusahaan dagang Eropa yang kemudian melanjutkannya
dengan menguasai secara penuh kedaulatan kerajaan lokal. Pendirian benteng yang
dibuat di tempat strategis menandai pergeseran pola pengembangan kota pesisir.
Kota dengan dataran pantai luas lebih dianggap aman dengan kelengkapan benteng
sebagai pertahanan dari pada kota pantai berbukit (Jakarta, Makassar, Bengkulu,
Cilacap, dll). Di pulau-pulau kecil, sistim pertahanan benteng di bukit juga
diterapkan untuk menghadapi serangan dari laut (Ambon, Banda, Saparua, dan
lain-lain) sambil mempertahankan monopoli dan menguasai perdagangan rempah
(cengkeh, pala, dan lain-lain.). Semakin kokohnya kekuasan penjajah, dicirikan
oleh perluasan kegiatan pembangunan kota keluar dari lingkungan benteng seiring
pembukan pertanian/perkebunan (tebu di dataran rendah dan teh, kopi, kina, dll di dataran tinggi). Sejumlah kota besar
pantai di Indonesia berkembang dengan ciri kota Eropa dengan sedikit
penyesuaian pada arsitektur dan tata ruang menurut kondisi lingkungannya. Di
sejumlah kota pantai berdataran sempit, perluasan mulai merambah bukit,
dicirikan oleh pendirian tempat ibadah (gereja) dan tempat tinggal, sementara
bandar dan kegiatan niaga masih berpusat di sekitar muara (Sibolga, Semarang,
Menado, Kupang, Ambon, dan lain-lain). Bentuk kepulauan wilayah Indonesia
dengan satu-satunya transportasi laut yang dianggap aman dan efisien
menyebabkan kota pantai lebih berkembang di masa tersebut dan pendudukan
kolonial Belanda dalam waktu sangat lama memberi warna kuat ciri kota pantai.
Masa pendudukan Jepang tidak memberikan perubahan pada kota-kota pantai kecuali
meninggalkan bunker atau benteng kecil di beberapa tempat di perbukitan sebagai
upaya pertahanan.
Satu
dua dekade setelah kemerdekaan, saat konsolidasi kedaulatan republik, tidak
banyak meninggalkan perubahan kota pantai yang masih kental dicirikan atmosfer
kota kolonial. Tiga dekade akhir abad 20 mulai terjadi perubahan pesat ruang
wilayah kota pantai. Terkesan terjadinya lepas kendali dalam pengelolaan kota
pantai sehingga batas daya dukung lingkungan kota pesisir sudah sangat jauh
terlampaui, dengan rupa dan akibat yang saat ini bisa kita lihat dan rasakan.
5.
Genesa dan Tipologi
Pantai
Kepulauan
Indonesia terbentuk oleh proses (endogen) rumit geologi dari gejala konvergensi
lempeng (litosfer) menghasilkan bentang alam (fisiografi) yang sangat kompleks.
Demikian halnya dengan pantai pulau-pulaunya, terbentuk seiring evolusi geologi
dengan ciri masing-masing berdasar proses dan mandala geologinya, yang kemudian
terlihat pada keragaman jenis batuan, struktur dan kelurusan, lereng pantai dan
perairan bentuk muara sungai dan lain-lain bagian bentang pantai. Kondisi
iklim/cuava (atmosfer) dan laut (biosfer) mengiringi evolusi tersebut memberi
pengaruh (eksogen) pada proses pembentukan bentang alam. Kegiatan manusia
(biosfer) mulai ikut berpengaruh pada proses evolusi mengubah bentang alam melalui
upaya (anthropogenic) mengubah lingkungan untuk kepentingannya sejak zaman
Anthroposen.
Berdasar
kenyataan demikian, klasifikasi wilayah pesisir dan pantai di Indonesia akan
lebih sempurna bila didasarkan atas beberapa hal yang menyangkut proses pembentukan
(genesa) dan perubahannya yang melibatkan unsur-unsur di atas. Berdasar
klasifikasi ini, dapat lebih mudah mengenali sifat dan potensi hingga kerawanan
yang dimilikinya, yang bermanfaat sebagai dasar dalam upaya pengelolaannya
berdasar keseimbangan dan kelestarian, di masa yang akan datang.
Suatu
pengkelasan pantai berdasar genesa, morfologi serta kondisi perairannya
diusulkan sebagai berikut, mengikuti kriteria-kriteria:
a. Kendali Tektonik
Proses
tektonik akibat konvergensi gerak lempeng dan kerak adalah sebagai kendali
utama proses yang menghasilkan geologi dan bentang alam pesisir dan pantai saat
ini.
1) Penunjaman (Subduction)
Gerak relatif kerak Samudra Hindia dan benua Australia
ke utara menghasilkan penunjaman di bawah Sumatra, Jawa dan sebagian Sunda
Kecil (NTB). Penunjamann dicirikan oleh palung dalam samudra, lereng depan
curam, jalur busur luar dan jalur volkanik. Pesisir dan pantai jalur ini
umumnya dibentuk oleh perbukitan terjal dengan tebing lereng depan curam tanpa
tutupan tumbuhan. Pantai umumnya menerima langsung hempasan gelombang dan
erosi, sementara teluk terbentuk dikontrol oleh struktur geologi yang rumit dan
batas antar litologi. Pasir pantai terbentuk di dataran sempit hasil akumulasi
sedimen sungai. Terumbu karang tumbuh di perairan yang terlindung di pantai pulau
utama dan pulau-pulau kecil. Ciri morfologi
pantai dan pesisir lainnya adalah:
- Tebing curam perbukitan pantai
-
Erosi dan abrasi kuat pada tebing curam
- Pantai datar berpasir relatif lurus dengan asupan sedimen dari
sungai kadang membentuk bukit pasir (sand dune) dengan selingan rawa.
-
Pola
aliran sungai hampir tegak lurus pantai dengan gradient tebing curam lambah sungai
-
Kegempaan
kuat dan sering kejadiannya, adakalanya diikuti tsunami
-
Penenggelaman
bergantian dengan pengangkatan pantai atau terumbu karang mengiringi proses
penunjaman
Curah hujan tinggi dan gejala geologi di kawasan ini memberikan
bentang alam dengan tebing dan lereng curam. Contoh kota pantai di jalur ini adalah:
Sibolga, Padang, Bnegkulu, Cilacap, dan lain-lain.
2) Tumbukan (collision)
Gerak
lempeng yang saling bertumbukan menghasilkan batuan yang tercampur aduk (chaotic)
yang terkerat kuat oleh struktur geologi patahan dan rekahan. Proses tumbukan
dapat diamati hasilnya di kawasan antara Flores hingga Wetar sebagai sisa jalur
volkanik dengan ciri pantai kaki volkanik dengan tutupan batu gamping
terangkat, Sumba sebagai busur luarnya dengan morfologi pantai teras terumbu
terangkat, dan jalur Sabu-Rote dan Timor sebagai jalur tumbukan dengan ciri
pantai curam serta singkapan batu gamping terangkat dengan terobosan lumpur
endapan tua. Contoh kota di jalur ini adalah: Kupang, Waingapu, dan lain-lain.
3)
Gerakan
Lateral
Jenis konvergensi yang menghasilkan batas
pertemuan dari lempeng yang saling geser ini di Indonesia tidak begitu mudah
dilihat gejalanya di daratan, kecuali di kepala burung Irian Jaya yang
menghasilkan sesar geser Sorong dengan pegunungan terjal menghadap langsung ke
laut membentuk pantai curam berbukit. Patahan dan rekahan menandai jalur ini
menyebabkan batuan pantai bertebing curam bertambah rentan longsor dan
terabrasi. Pantai di jalur ini umumnya sangat labil dan rawan bencana,
mengingat kegempaan juga relatif tinggi (gempa dan tsunami di. P Biak). Contoh
kota di mandala ini: Biak, Manokwari, Sorong.
4) Kraton Stabil
Inti atau kraton di Indonesia ditandai oleh
hampir absennya kegempaan, sebagaimana dicatat di Kalimantan (barat dan
selatan) yang dianggap sebagai kraton dari busur kepulauan Indonesia saat ini.
Stabilnya kawasan ini dari kerjaan gejala geologi menyebabkan gaya eksogen
(cuaca, dan lain-lain) mengontrol lebih jauh dengan gejala denudasi atau pendataran
(peneplain) dari bentang alam pegunungan tua menghasilkan wilayah pesisir
sangat luas yang ditempati rawa dataran (lahan) basah (wet land) dari
bentang alam hilir yang telah lanjut. Dataran basah ditutupi rawa atau hutan
tropis basah. Estuari terbentuk lebar di bagian yang memiliki beda pasang
tinggi, yang pasang naiknya dapat dirasakan di pedalaman jauh dari muara.
Rataan tebal bakau menutup pantai, menahan gempuran gelombang dan menangkap
sedimen dari muara yang menyebar, menghasilkan akresi pantai. Contoh kota di
jalur ini adalah: Pontianak, Banjarmasin.
5) Pantai terangkat dan tenggelam
Jenis pantai yang mengalami pengangkatan
dan penuruan dapat ditemukan di berbagai pulau di kawasan yang saat ini berada
pada jalur aktif tektonik yang menghasilkan gerak tegak, di jalur tumbukan atau
penunjaman. Di darat, gejala ini terlihat di pantai yang bertutupan tumbuhan
adalah tenggelamnya sebagian tumbuhan (Cassuarina sp, mangrove, dan
lain-lain) atau bentuk khusus terumbu karang yang menandai gejala ini (out side
stepping) dan gejala erosi pantai. Adanya pengangkatan dapat terlihat dari
bentuk undak teras pantai dan adanya akresi pantai sementara munculnya terumbu
karang membentuk daratan merupakan tanda di bagian perairan. Penurunan daratan
dapat diakibatkan oleh adamya kompaksi endapan di pesisir, atau memang ada
gejala kenaikan permukaan air laut. Contoh kota di pulau ini adalah: Waingapu
(Sumba), Tuah Pejat (Mentawai).
6)
Volkanik
Jalur gunung api menempati suatu kelurusan,
yang di pulau besar seperti Sumatra dan Jawa, hasil kegiatannya membentuk
kerucut yang kakinya tidak mencapai pesisir (kecuali beberapa: Muria, Rajabasa,
dan lain-lain), namun di Sunda Kecil,
pulau volkanik relatif kecil dan memiliki gugusan gunung api yang
muntahan kegiatannya mencapai pesisir dan masuk ke laut (Bali-Flores, Alor).
Batuan padat dan keras hasil kegiatan
volkanik membentuk tebing curam pantai pulau gunung api, diseling lereng landai
kaki gunung berbatuan lepas dan pasir membentuk pantai sempit datar. Aliran
lava atau lahar seringkali langsung masuk ke laut, membentuk lereng dasar laut
dengan kemiringan dan jenis batuannya tergantung dari komposisi magmanya.
Pantai sempit landai dengan sungai kecil disekitarnya memungkinkan bakau
tumbuh, adakalanya bersisian atau menumpang di atas substrat pasiran dan
terumbu karang. Kota-kota pantai di mintakat ini antara lain: Jepara, Denpasar,
Larantuka, dan lain-lain
b. Pantai dan pesisir berdasar fisiografi kepulauan
1) Pulau/daratan menghadap ke arah samudera lepas
Pantai dan pesisir yang menghadap ke arah
laut/samudera lepas ditandai oleh tebing perbukitan curam, pantai berbentang
alam kasar, berbukit terjal menerima hempasan kuat gelombang. Pantai datar
berpasir adakalanya menyelingi pesisir ini, terbentuk oleh endapan sedimen
sungai. Jalur ini umumnya erat kaitannya dengan jalur tumbukan atau penunjaman.
Gelombang besar merupakan bagian dari sistim gelombang samudra, namun tsunami
adakalanya terjadi menyusul gempa kuat yang sering terjadi di jalur ini. Contoh
kota di pesisir ini antara lain: Sibolga, Padang, Bengkulu, Cilacap, dst.
2)
Pantai – pesisir yang menghadap cekungan belakang (tepian
paparan)
Cekungan belakang dari jalur konvergensi tektonik ditandai oleh
paparan landai luas dengan alur sungai (dendritic) panjang dan dataran
tangkapan hujan luas, mengalir berkelok-kelok melalui rawa dan dataran limpahan
banjir, ke pantai berawa dan ber tutupan tebal bakau membentuk muara delta luas
dengan pulau pulau delta di depannya. Jenis pesisir ini dijumpai di perairan timur Sumatra
utara Jawa dan selatan Irian. Contoh kota yang mewakili dan berada di mintakat
ini adalah: Lhokseumawe, Palembang, Jakarta, Semarang, dan lain-lain
3)
Pesisir
menghadap tepian kontinen.
Indonesia memiliki dua tepian kontinen, Sunda dan Sahul yang ke
arah mana beberapa pulau menghadapnya dengan ciri pantai landai dan sangat
stabil dari gejala geologi. Dua paparan tersebut menyisakan bentang alam
dataran saat sempat kering ketika susut laut hingga –145 m dari muka laut
sekarang. Bentang alam saat susut laut memiliki kemiripan dengan bentang
pesisir sekarang, ditandai oleh daerah limpahan banjir, rataan terumbu karang
dan bakau serta endapan pasir pantai. Beberapa sisa bentang alam tinggian masih terlihat
berupa pulau pulau di perairan ini (Senayang-Lingga-Bangka-Natuna-Karimata dan
lain-lain). Landai dan dangkalnya perairan seringkali menyebabkan kekeruhan
akibat agitasi laut saat musim barat sulit hilang. Rataan tipis bakau menutup
pesisir perairan. Sisa pematang pantai purba membentuk rataan tipis oleh
endapan pasir kuarsa. Terumbu karang kurang pertumbuhannya di perairan ini yang
umumnya ditandai oleh air keruh siltasi sedimen agitasi gelombang. Kota-kota yang mewakili antara lain: Tanjung Pinang, Pangkal
Pinang, dan lain-lain.
4) Jalur pulau busur luar
Jalur pulau
non volkanik busur luar terbentuk hampir menerus di barat dari pulau Sumatra
menghadap ke lepas Samudra Hindia. Di bagian timur busur Sunda, busur luar
terbentuk kembali sebagai pulau Sumba dan Sabu. Pulau-pulau tersebut terbentuk
dari terangkatnya sedimen laut oleh proses penunjaman dan tumbukan lepeng,
dicirikan oleh lapisan batuan yang terlipat membentuk perbukitan dan terpotong
patahan. Adakalanya batu gamping terumbu
karang ikut terangkat keluar membentuk perbukitan di pantai bertebing curam.
Teluk terbentuk oleh struktur geologi, umumnya padanya bermuara sungai
membentuk endapan pasir disekelilingnya atau tutupan bakau. Dangkalan akibat
terangkatnya batuan, ditumbuhi terumbu karang yang di atasnya seringkali
kemudian tumbuh bakau. Sedimen lepas atau keras terkomkakan dari endapan
karbonat di pantai terbentuk dari hasil rombakan terumbu karang. Pulau-pulau di
barat Sumatra mengalami gerak pengangkatan mengiringi kegempaan yang adakalanya
diikuti tsunami, namun ditengarai pula adanya penurunan. Di Sumba dan Sabu,
pengangkatan lebih dominan dan menerus menghasilkan undak teras. Kota-kota yang
mewakili, antara lain: Muara Siberut, Waingapu, Seba, Baa, dan lain-lain.
5)
Pulau
gunung api
Pantai pulau ini dicirikan oleh endapan bahan volkanik yang
dimuntahkan hingga ke perairan membentuk pesisir pantai landai di bagian mana
sering ditumbuhi bakau dan terumbu karang di perairannya. Endapan lahar atau
lava sering mencapai rataan bakau dan terumbu, namun dapat segera tumbuh pulih
kembali setelah 5-6 tahun kemudian. Pulau-pulau ini membentuk jajaran dari Bali
hingga Flores. Pantai curam terbentuk oleh terobosan batuan volkanik atau
batuan tufa lelehan dan lahar konglomeratan yang tersemenkan. Lembah sungai dalam di hulu berakhir pada
muara yang berpantai landai pada pesisir datar, namun sering berupa muara
sempit. Contoh kota yang mewakili mintakat ini antara lain: Denpasar, Mataram,
Bima, Banda, Maumere, dan lain-lain.
6)
Pulau
kecil di laut dalam
Guyot dan kerucut gunung api aktif banyak ditemukan di perairan
Laut Banda, membubung naik dari kedalaman membentuk pulau yang terisolasi.
Pulau-pulau ini dicirikan oleh lereng perairan curam, namun lereng atas dekat
permukaannya sering dikelilingi oleh terumbu karang yang menempel pada batuan
volkanik. Terumbu karang adakalanya terangkat membentuk undak sempit batu
gamping karang dengan takik ombak, sebagai bukti adanya pengangkatan. Pantai
sempit landai adakalanya ditumbuhi bakau. Contoh kota yang mewakili pemukiman
di pulau ini antara lain adalah Banda.
7)
Pulau-pulau kecil di paparan tepian kontinen
Pulau terbentuk oleh tinggian batuan yang resistan dari kerjaan
cuaca di kawasan geologi yang stabil bagian dari paparan kontinen. Perubahan
paras muka laut lebih mengontrol evolusi morfologi perairan ini membentuk alur
perairan dangkal yang ditutupi endapan pantai dan sungai purba. Dangkalnya
perairan menyebabkan kekeruhan tidak mudah hilang, menyebabkan kualitas terumbu
karang kurang baik namun endapan pantai di perairan tenang mengalasi rataan
tebal bakau. Pantai purba sempit terbentuk di pesisir yang menghadap ke
periaran bebas yang bergelombang kuat yang membantu pembentukan endapan pasir
kuarsa putih. Contoh kota yang menempati gugusan pulau ini adalah: Pangkal
Pinang, Tanjung Pinang, dan lain-lain.
8)
Pulau
Delta
Pulau-pulau delta terbentuk di bagian perairan landai di muara
sungai yang mengalir jauh dari pedalaman mengangkut sedimen yang diendapkan dan
membentuk pulau-pulau ini. Hampir seluruh pulau umumnya ditutupi bakau atau hutan
tropis dataran basah pada kisaran supra tidal atau intertidal. Kota-kota di
pesisir timur Sumatra dari Riau hingga Jambi menempati kawasan ini (Rumbai dan
seterusnya).
c. Morfologi
Kerjaan langsung dari
proses geologi (endogen), laut dan cuaca (eksogen) menghasilkan bentang
(morfologi) lanjut pantai dan pesisir. Kenampakannya di lapangan dapat
dibedakan dalam beberapa kelompok, antara lain:
1)
Pantai
curam singkapan batuan
Jenis pantai ini umumnya ditemukan di pesisir yang menghadap laut
lepas dan merupakan bagian jalur tunjaman/tumbukan, berupa pantai curam
singkapan batuan volkanik, terobosan, malihan atau sedimen. Jenis pantai ditemukan pantai barat
Sumatra, Pulau Simeuleule hingga Enggano, Pantai Selatan Jawa, Nusa Dua-Bali,
Pantai selatan Lombok - Flores, Sumba, Sabu, Rote, Timor, Solor - Wetar, Pantai
timur Tanimbar, Pantai utara Ceram Irian Jaya.
2)
Pantai
landai atau datar
Pesisir datar hingga landai menempati bagian
mintakat kraton stabil atau cekungan belakang. Absennya gejala geologi berupa
pengangkatan dan perlipatan atau volkanisme, pembentukan pantai dikendalikan
oleh proses eksogen cuaca dan hidrologi. Estuari lebar menandai muara dengan
tutupan tebal bakau. Bagian pesisir dalam ditandai dataran rawa atau lahan
basah. Sedimentasi kuat terjadi di perairan bila di hulu mengalami erosi.
Progradasi pantai atau pembentukan delta sangat lazim. Kompaksi sedimen
diiringi penurunan permukaan tanah, sementara air tanah tawar sulit ditemukan.
3) Pantai dengan bukit atau paparan pasir
Pantai menghadap perairan bergelombang dan
angin kuat dengan asupan sedimen sungai cukup, umumnya membentuk rataan dan
perbukitan pasir. Kondisi kering
dan berangin kuat dapat membentuk perbukitan pasir. Air tanah seringkali
terkumpul dari air meteorik yang terjebak. Sementasi sedimen terbentuk bila
terdapat cukup kelembaban dari air laut (spray) dan terik matahari. Jenis pantai ini berkembang baik di
perairan yang menghadap samudra Hindia (Sumatra pantai barat, Jawa, dan
seterusnya. Paparan pasir juga terbentuk di perairan yang menghadap cekungan
dalam di pulau kecil atau gunung api sejauh cukup landai lereng pantai dan
sedimen sungai serta agitasi gelombangnya.
4) Pantai lurus dan panjang dari pesisir datar
Pantai tepian samudra dengan agitasi kuat
gelombang serta memiliki sejumlah muara sungai kecil berjajar padanya dengan
asupan sedimen, dapat membentuk garis lurus dan panjang pantai berpasir. Erosi
terjadi bila terjadi ketidak seimbangan lereng dasar perairan dan asupan
sedimen.
5)
Pantai
berbukit dan tebing terjal
Bentang pantai ini ditemukan di berbagai
mintakat berbeda, yaitu di jalur tumbukan/tunjaman, jalur volkanik, pulau-pulau
sisa tinggian di paparan tepi kontinen, jalur busur luar atau jalur tektonik
geser. Batuan keras yang terkerat patahan dan rekahan umun dijumpai di
kawasan yang gejala tektoniknya kuat. Batuan terobosan atau bekuan tufa dapat
membentuk tebing terjal di pantai pulau volkanik. Di kawasan dengan proses
pengangkatan dan pelipatan, kecuraman lereng pantai atau bukit adakalanya
tergantung arah lipatan dan kemiringan perlapisan dan kekerasan maupun
kestabilan batuannya. Terjalnya tebing pantai dan kuatnya agitasi gelombang
meniadakan peluang terumbu karang tumbuh, demikian halnya dengan bakau. Tutupan
tumbuhan masih mampu tumbuh di lapukan batuan, terutama di kawasan dengan curah
hujan memadai.
6) Pantai erosi
Terjadinya erosi terhadap pantai disebabkan oleh adanya: batuan
atau endapan yang mudah tererosi, agen erosi berupa air oleh berbagai bentuk
gerak air. Gerak air dalam hal ini bisa berupa arus yang mengikis endapan atau
agitasi gelombang yang menyebabkan abrasi pada batuan. Erosi tidak hanya
berlangsung di permukaan, namun juga yang terjadi di permukaan sedimen dasar
perairan. Erosi maksimum terjadi bila enersi dari agen erosi mencapai titik
paling lemah materi tererosi. Pada sedimen lepas di pantai, arus sejajar pantai
oleh adanya gelombang atau arus pasang surut sudah mampu menjadi penyebab
erosi. Erosi yang terjadi pada dasar perairan akan mengubah lereng yang
berdampak pada perubahan posisi jatuhnya enersi gelombang pada pantai.
Berikutnya, agitasi gelombang dapat merusak titik terlemah dari apapun yang
ditemukan dengan enersi maksimal. Pencapaian titik terlemah dapat terjadi bila
saat badai dengan gelombang kuat terjadi bersamaan dengan posisi paras muka
laut jatuh pada sisi paling lemah, yaitu permukaan rataan pasir pantai. Erosi
diperparah bila sedimen sungai yang menjadi penyeimbang tidak cukup mengganti
sedimen yang tererosi.Jenis pantai dengan ancaman seperti ini terdapat di
pesisir barat Sumatra, selatan Jawa dan beberapa tempat yang menghadap perairan
dengan agitasi gelombang kuat.Pada tebing pantai batuan keras, abrasi terjadi
pula namun memerlukan waktu lama untuk menghasilkan dampak yang terlihat. Takik
pada batuan di ketinggian tertentu diakibatkan kerjaan abrasi ini, bila takik
terlalu dalam dan beban tidak dapat tertahan lagi, bagian atas tebing runtuh.
Pada beberapa kejadian, takik juga dipercepat dalamnya oleh kegiatan pelubangan
biota.
7)
Pantai
akresi
Proses akresi terjadi di pesisir yang
menerima asupan sedimen lebih dari jumlah yang kemudian dierosi oleh laut.
Dengan demikian, akresi merupakan kebalikan dari proses erosi. Keseimbangan
yang menyebabkan dua proses tersebut berlangsung bergantian adalah kondisi:
berubahnya paras muka laut, perubahan enersi agen erosi, perubahan jumlah
sedimen yang tersedia, dan lereng dari dasar perairan. Akresi pantai oleh
sedimen halus sering diikuti tumbuhnya bakau yang berfungsi kemudian sebagai penguat
endapan baru dari erosi atau longsor. Kecepatan akresi di beberapa pantai
dikendalikan oleh intensifnya sedimentasi hasil erosi di hulu.
d. Ekosistem tutupan biota
1) Bakau
Tutupan bakau memerlukan pesisir landai
dengan substrat lumpur atau sedimen halus, serta dekat muara sungai agar
tersedia cukup air tawar. Bakau dapat membentuk rataan sangat luas di pesisir
tepian pulau kraton atau cekungan belakang yang landai dan luas. Bakau juga tumbuh di pulau-pulau kecil bila menemukan pantai landai
dan cukup air tawar. Adakalanya bakau tumbuh di atas rataan terumbu karang.
2)
Terumbu
karang
Terumbu karang tumbuh di perairan hangat, jernih dan terlindung
dari agitasi kuat gelombang. Sifat tumbuhnya yang memerlukan sinar matahari, ia
selalu berusaha dekat dengan permukaan air laut. Tingkat keragaman komponen
terumbu dan kualitas individunya tergantung dari kualitas lingkungan yang
dikontrol oleh kondisi fisiko-kimia perairan dan, saat ini, kualitas terumbu
karang menurun akibat dampak kegiatan manusia dalam penangkapan ikan. Terumbu
karang memiliki banyak fungsi, antara lain: secara fisis melindungi pesisir
dari agitasi gelombang, menghasilkan sedimen karbonat penyeimbang dasar
perairan dan perlindungan bagi biota laut.
3)
Bakau di
atas terumbu karang
Dinamika perubahan relatif paras muka laut,
suplai air tawar dan kemampuan adaptasi biota laut menghasilkan gejala simbiosa
antara bakau dan terumbu karang (dan ikan) yang tumbuh di satu ekosistim.
4) Rumput laut
Rataan luas pasir karbonat di terumbu
karang pada perairan intertidal memberi peluang tumbuhnya rumput laut (segrass
dan seaweed) memperkaya keragaman habitat wilayah perairan. Perairan relatif jernih dengan substrat pasir halus karbonat
disukai oleh biota ini.
5)
Estuari
dan paparan intertidalnya
Pasang naik dan pasang surut tinggi membentuk estuari, namun
meninggalkan juga endapan lumpur luas yang tebal namun muncul saat surut.
Rataan ini merupakan habitat subur bagi jenis kerang-kerangan (bivalve).
6)
Pantai
kering batu gamping
Di kawasan dengan curah hujan tahunan tipis, lembah dalam sungai
mengiris perbukitan undak pantai dengan aliran air hanya saat hujan tiba.
Akresi pantai hanya terjadi oleh terangkatnya rataan terumbu membentuk undak
pantai baru. Sedimen hasil rombakan terumbu karang terakumulasi di bagian
cerukan pantai atau pantai landai membentuk paparan datar. Terbatasnya suplai
air tawar dan sedimen sungai menyebabkan perairan terjaga bersih, namun
membatasi bakau di periaran yang memperoleh air tawar dari sungai yang lebih
teratur aliran air tawarnya. Pantai kering dapat terbentuk pulau dari batuan
volkanik di kawasan bercurah hujan rendah. Jatuhan batu di tebing sering
menandai jenis pantai ini.
7)
Lahan
basah (wetland)
Dapat berupa delta atau pesisir berawa bagian pulau yang menghadap
mintakat stabil geologi. Kawasan pesisir ini dicirikan oleh dataran berawa
tumbuhan tropis di limpahan banjir sungai yang alirannya berkelok hingga
dataran supratidal-intertidal di mintakat bakau.
e.
Pantai dengan pengaruh kegiatan manusia
1) Pemukiman Tradisional
Pantai dan pesisir telah terubah dari
bentang dan bentuk semula oleh kebutuhan manusia yang dibangun sepanjang pantai
atau pesisir. Pemukiman dan pelabuhan merupakan
perubahan yang paling awal dilakukan di pantai.
-Diatas perairan
Manusia
yang kehidupannya tergantung pada laut merasa nyaman tinggal dan membangun
pemukimannya di atas air (Suku Bajo, Orang Laut, dll). Pemukiman dibangun dan
disangga oleh tiang kayu di atas batas pasut tertinggi.
-Diatas pematang
pantai
Pemukiman
dapat juga dibangun diatas rataan pasir pantai yang terbebas dari pasang
tertinggi, di tempat mana manusia dapat memperoleh air tawar dari sumber atau
dengan membuat sumur. Kegiatan meramu hutan dan bercocok ringan mulai
dilakukan.
2)
Pemukiman
baru
Pembangunan pemukiman baru dilakukan di pesisir dengan memperkuat
pantai, membuat perlindungan dari erosi dan limpasan gelombang. Pembuatan turap
pelindung mengubah sama sekali bentang pantai. Bakau dihilangkan untuk memperoleh
pandangan ke laut lepas.
3)
Pelabuhan
Tempat berlabuh memerlukan perairan tenang terbebas setiap saat
dari kesulitan sandar dan memrlukan perairan dalam. Perluasan pelabuhan untuk
ukuran kapal lebih besar mengubah bentang alam, yang semula hanya terbuat dari
dermaga kayu sederhana menjadi demikian masif terbuat dari bangunan beton
dengan turap. Pembangunan pelabuhan mengubah bentang pantai.
4)
Kota
Besar Pesisir
Pembangunan pemukiman berskala besar dari perluasan kota cenderung
berdampak pada terubahnya bentang alam wilayah pesisir menjadi blok-blok perumahan
yang penataannya lebih didasarkan pada efisiensi ruang semaksimal mungkin.
Kondisi demikian tidak lagi mengindahkan keperluan keseimbangan estetika mupun
daya dukung lingkungan. Adakalanya pengelolaan limbah pemukiman juga terabaikan
dengan dampak semakin buruknya kualitas pantai dan perairan.
5)
Pantai Reklamasi
Reklamasi pantai demi memperoleh lahan lebih luas merupakan
kegiatan palingburuk yang mengubah bentang alam asli pantai dan wilayah
pesisir.Penataan ruang bentang alam yang diperoleh harus dilakukan dengan
perhitungan dan perencanaan yang matang sehingga ruang baru dapat menyatu
dengan bentang alam asli disekelilingnya.
6)
Tambak
(ponds)
Tambak dibangun diperairan intertidal dengan membuka tutupan lahan
asli berupa bakau dan lahan rawa. Kegiatan ini mengubah bentang alam dalam skala luas di
pesisir datar dengan kisaran pasut tidak terlalu kuat. Seringkali tambak dibuat
langsung di perairan pinggir laut, namun seringkali menyisakan rataan tipis bakau
sebagai pelindung dan penangkap sedimen. Pertambakan
luas dikembangkan di perairan tepian kontinen.
7)
Hunian
wisata
Beberapa tempat terpilih sebagai kegiatan hunian wisata, dalam
format besar dan modern maupun kecil bernuansa ekowisata. Bentang alam umumnya
terubah pada hunian wisata masif dan modern berupa hotel atau bungalow,
sementara nuansa asli seringkali justru dipertahankan pada hunian ekowisata.
C. Manfaat
Materi
Dalam penulisan makalah ini dengan materi yang
bertemakan Struktur Geologi di wilayah Indonesia , pada umumnya manfaat dari
materi ini kita tahu bahwa wilayah Indonesia terdiri dari berbagai pulau yang
kaya akan alamnya baik di daratan maupun dilautan.
Materi ini sangat berguna bagi kita
untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dan menjadi tahu tentang wilayah yang
ada di Indnesia.
D. Makna bagi
Siswa Tentang Materi
Seperti yang sudah diuraikan oleh
penulis di atas, materi ini sedikit membahas tentang Struktur Geologi wilayah
Indonesia. Makna bagi siswa sendiri di dalam materi ini adalah sangatlah
penting selain menambah ilmu pengetahuan, materi ini juga sesuai dengan apa
yang diajarkan di sekolah.
Jadi untuk itu diharapkan bisa
memahami apa yang diuaraikan penulis dalam isi makalah ini, dan semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca khususunya sebagai kaum pelajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mengakaji legenda sangkuriang
penulis akhirnya menarik kesimpulan tentang apa yang ada dalam materi tersebut.
Adapun kesimpulannya sebagai berikut :
1.
Bentang
alam wilayah pesisir dan pantai dibentuk oleh gejala endogen geologi. Tiga
gejala utama tektonik yang mengontrol awal bentang alam adalah tunjaman dan
tumbukan lempeng, gerak geser antar lempeng, gunung api dengan komponen gerak
tegaknya. Cekungan belakang busur ditandai oleh penurunan yang membentuk
sedimen tebal. Jenis batuan menentukan kestabilan pantai dan kemampuan bertahan
dari kerjaan laut dan cuaca. Di perairan stabil tanpa gejala geologi (endogen),
di bagian yang mengalami pengaruh kuat perubahan paras muka laut, di pesisir
dan di pantai, selanjutnya pembentukan bentang alam lebih dipengaruhi oleh
gejala cuaca (erosi) dan laut (erosi, sedimentasi).
2.
Pantai
yang menghadap perairan terbuka dengan agitasi kuat memiliki kota pantai yang
berkembang di rataan pasir pantai, berawal dari pemukiman dan pelabuhan sebagai
bandar niaga di muara sungai. Pemilihan muara di bentang manapun sebagai awal
pemukiman sangat umum dijumpai di Indonesia, di dataran alluvial, di kaki
gunung pulau volkanik, di pesisir perairan paparan tepian kontinen atau di
pantai dataran limpah banjir. Kota pantai tumbuh dan berkembang sesuai status
dan fungsinya dari saat ke saat melalui beberapa perioda masa penjajahan dan
kemudian masa setelah kemerdekaan. Perkembangan dan perluasan kota yang
berstatus kota pusat pemerintahan terlihat lebih pesat. Perluasan kota untuk
pemukiman mulai terasa sejak 30 tahun terakhir. Demikian halnya dengan
pembangunan sarana pelabuhan dan transportasi lain.
3.
Sejumlah besar kota pantai berkembang pesat oleh peningkatan usaha
ekonomi perniagaan, pertanian/perkebunan dan industri, sementara marikultur dan
industri hilirnya hanya berkembang di beberapa kota pantai saja atau hanya
sebagai suplemen kecil usaha ekonomi. Perlu peningkatan usaha ekonomi kelautan
di segala lini (industri rekayasa, budidaya dan tangkap, pengolahan, wisata,
dan lain-lain). Pertumbuhan kota-kota pantai di akhir abad 20 an cenderung
mangabaikan daya dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana yang
berpotensi merusak. Keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan
perluasan merambah lingkungan yang seharusnya dipertahankan sebagai penyangga,
antara lain yang berada di hulu, hilir, pantai dan perairan dengan pulau-pulau
di depannya.
4.
Cuaca, kondisi laut dan tektonik merupakan gejala-gejala yang
mengontrol bentang alam dari awal pembentukan hingga bentuk saat ini. Mengingat
demikian kuat pengaruhnya hingga saat ini seiring perkembangan kota, maka
gejala tersbut harus diperhitungkan sebagai potensi alam dalam upaya mempertahankan
kelestarian lingkungan kota pantai.
5. Jenis ancaman bencana pada kota-kota pantai beragam tergantung pada
gejala alam apa saja yang mengontrolnya. Namun secara regional, ancaman
kenaikan muka air laut estatik - walaupun akan dirasakan hampir semua kota pantai
dengan besaran dampak berbeda tergantung bentang alam dan gelogi di atas mana
kota dibangun. Kota pantai berbukit hampir tidak terpengaruh oleh gejala ini
sementara kota di pesisir delta atau pulau kecil, akan merasakan akibat gejala
ini dengan ancaman sangat serius pada kerusakan langsung pada pantai oleh erosi
dan penenggelaman.
A. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis
hanya bisa menyarankan kepada pembaca, khususunya bagi siswa Mts. Negeri
Pandeglang II untuk lebih mengenal lebih lagi tentng Struktur Geologi wilayah
Indonesia . Tidak lupa untuk terus menggali ilmu pengetahuan di berbagai mata
pelajaran, khususunya dalam mata pelajaran IPA.
Daftar Pustaka